Jika Anda pernah melihat bagian cockpit sebuah pesawat terbang, pada bagian dashboard tampak banyak sekali terpasang indikator yang beberapa diantaranya adalah kompas magnetic (kompas biasa) dan radio compass. Kedua alat navigasi ini memiliki fungsi yang saling mendukung, saling melengkapi. Sebab kedua jenis alat navigasi ini memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Dengan adanya kedua jenis kompas tersebut, jalur penerbangan bisa lebih terjamin keakuratan arahnya. Tidak bisa hanya mengandalkan pada kompas magnetic untuk menentukan arah sebab pada daerah-daerah tertentu benda ini seringkali tidak mampu berfungsi dengan akurat. Ini tidak baik bagi arah penerbangan. Bias derajat yang sangat kecil sekalipun bisa membuat arah penerbangan menjadi melenceng jauh, terlebih pada penerbangan jarak jauh. Pada saat-saat seperti itu lah radio compass menjadi sangat berperan. Pilot akan segera memeriksa alat navigasi yang telah disetting secara intarnasional itu. Penuntun arahnya beradasarkan pemancar gelombang radio yang penyebarannya hampir memenuhi seluruh kawasan di bumi ini.
Seperti halnya GPS, pembuatan radio compass pun awalnya digunakan untuk kepentingan bidang penerbangan militer. Pertama kali diperkenalkan di Jerman sebelum berkecamuknya Perang Dunia kedua, yaitu pada sekitar tahun 1930an. Awalnya digunakan jika keadaan cuaca sedang buruk lalu kemudian pemakaiannya dikembangkan untuk system navigasi bagi penyerangan atau pengeboman menggunakan pesawat terbang pada malam hari. Misalnya untuk menentukan titik dimana bom harus dijatuhkan. Jika hanya mengandalkan penglihatan biasanya, misi seperti itu sulit dilakukan. Setelah berakhirnya perang dunia kedua, penggunaan radio compass sebagai alat bantu navigasi penerbangan dengan segera menyebar ke seluruh dunia. Terutama di Amerika.
Hingga dewasa ini ada empat jenis radio compass yang digunakan dalam penerbangan standard internasional. Yaitu VHF Omni-directional Radio Range (VOR), Non Directional Beacon (NDB), Automatic Direction Finder (ADF), dan Instrumen Landing System (ILS). Keempatnya memiliki fungsi tersendiri. Pada umumnya ADF dipasang pada pesawat terbang dan berfungsi guna menangkap gelombang yang dipancarkan dari NDB yang dipasang di darat yang gunanya memang untuk mengarahkan pesawat terbang menuju lapangan terbang dimana NDB dipasang. Pilot akan memposisikan pesawat sedemikian rupa hingga jarum pada ADF paralel dengan kelurusan badan pesawat. Itu dianggap sebagai arah yang benar guna menuju ke lapangan terbang tersebut.
ILS (Instrumen Landing System), sesuai dengan namanya adalah berfungsi untuk memandu pilot dalam mengarahkan pesawat terbangnya ke landasan. Menurut cara kerjanya terdiri dari dua subsistem, yaitu untuk menunjukkan letak landasan dan memandu penerbang mendekati landasan dengan aman. Biasanya pemancarnya diletakkan di ujung landasan atau di sebelah kanan dan kiri landasan. Pada pesawat juga terpasang alat dengan nama yang sama (ILS), tapi berfungsi sebagai receiver.
VOR atau VHF Omni-directional Radio Range digunakan oleh pilot untuk memandu pesawatnya menuju ke Bandar udara dimana stasiun VOR dipasang. Seperti halnya ILS, receiver pada pesawat terbang juga disebut VOR. Sistem ini difungsikan saat receiver di pesawat terbang sudah mampu menangkap gelombang dari pemancar VOR yang dipasang di bandara. Pada beberapa bandara yang lebih modern, VOR digantikan oleh HSI (Horizontal Situation Indicator). Alat ini punya fungsi sama dengan VOR, tapi lebih canggih dan tentu saja harganya lebih mahal dibanding VOR.